Selama puluhan tahun, C.P. Wolff Schoemaker telah
meraih nama besar dalam pembangunan kota Bandung. Arsitek Belanda dan
guru besar arsitektur Technische Hogeschool Bandoeng (sekarang ITB-red)
ini memiliki peran besar dalam perancangan masterplan kota Bandung kuno.
Sejumlah bangunan tercatat sebagai karyanya, diantaranya Villa Isola, Gedung Merdeka dan Villa Merah ITB. Napak tilas karya-karya Schoemaker di Bandung disajikan oleh Kumiko HOMMA, mahasiswi program magister Arsitektur dari Jepang, bekerjasama dengan sejumlah mahasiswa arsitektur ITB dalam seminar Jejak Karya C.P. Wolff Schoemaker di Bandung.
Sejumlah bangunan tercatat sebagai karyanya, diantaranya Villa Isola, Gedung Merdeka dan Villa Merah ITB. Napak tilas karya-karya Schoemaker di Bandung disajikan oleh Kumiko HOMMA, mahasiswi program magister Arsitektur dari Jepang, bekerjasama dengan sejumlah mahasiswa arsitektur ITB dalam seminar Jejak Karya C.P. Wolff Schoemaker di Bandung.
Mungkin
hanya sedikit orang awam yang mengenal nama Ir.Charles Prosper Wolff
Schoemaker. Pria kelahiran Banyubiru, 1882 ini memulai karir di militer
sebagai insinyur. Schoemaker kemudian bergabung dengan Algemeen
Ingenieur Architectenbureau, dan bekerja di Bandung. Karyanya antara
lain bangunan-bangunan yang menjadi ikon kota Bandung, seperti Gedung
Asia Afrika, Villa Isola, Aula Barat - Timur ITB, Gedung PLN, Gereja
Kathedral di Jln. Merdeka, Gereja Bethel di Jln. Wastukencana, Masjid
Cipaganti, Bioskop Majestic, Villa Merah, dan Hotel Preanger. Tahun
1922, Schoemaker diangkat sebagai profesor Technische Hogeschool
Bandoeng (disingkat TH, sekarang menjadi ITB-red) dengan salah satu
mahasiswanya yaitu Ir. Soekarno. Selama hidupnya, beliau banyak
melakukan penelitian ilmiah terhadap karya-karya arsitektur vernakular
di Jawa. Beliau juga pernah menimba ilmu arsitektur di Amerika Serikat
dari Frank Lyoid Wright, salah satu arsitek ternama di dunia. Schoemaker
meninggal pada 1949 dan dimakamkan di Ereveld Pandu, Bandung.
Dalam rancangannya, Schoemaker berupaya memadukan unsur budaya timur dan barat dalam desainnya. Budaya timur sangat terlihat dari bentuk atap yang dominan seperti rumah-rumah tradisional Indonesia dengan kemiringan yang tinggi, serta material pada atap (sirap) dan dinding (batu bata), pada bangunan villa mrah di Jl. Tamansari. Bangunan ini sekarang digunakan sebagai kantor Satuan Kekayaan dan Dana serta Ikatan Alumni ITB.
Dalam rancangannya, Schoemaker berupaya memadukan unsur budaya timur dan barat dalam desainnya. Budaya timur sangat terlihat dari bentuk atap yang dominan seperti rumah-rumah tradisional Indonesia dengan kemiringan yang tinggi, serta material pada atap (sirap) dan dinding (batu bata), pada bangunan villa mrah di Jl. Tamansari. Bangunan ini sekarang digunakan sebagai kantor Satuan Kekayaan dan Dana serta Ikatan Alumni ITB.
Villa Isola dirancang Schoemaker memiliki orientasi pada Gunung Tangkuban Perahu. Schoemaker menerapkan filsafat landscape
tradisional Jawa, yaitu bangunan dan lingkungan memiliki orientasi
kosmis ke arah sesuatu yang dianggap sakral. Gunung tersebut merupakan
elemen sakral dalam kepercayaan masyarakat Sunda. Elemen-elemen
kepercayaan seperti inilah yang coba diadaptasi Schoemaker ke dalam
desainnya. Konsep tradisional lain yaitu ornamen Batara Kala pada fasade
bangunan Landmark di Jalan Braga. Sementara deretan pertokoan bergaya art deco yang menjadi landmark jalan Braga merupakan daya tarik bagi Parijs van Java.
Kumiko HOMMA, mahasiswi program magister berkebangsaan Jepang, menampilkan hasil penelitiannya mengenai karya-karya Schoemaker. Penelitian tersebut turut dibantu oleh Dr. Eng. Bambang Setia Budi, ST.MT., dosen sejarah arsitektur program studi arsitektur ITB. Dalam seminar yang diselenggarakan di galeri Labtek IXB, Jumat (11/09/09), Kumiko menampilkan hasil analisisnya pada berbagai karya Schoemaker di Bandung. Schoemaker memiliki karakteristik art deco, streamline, inconsistent, dan concoct.
Selain pembahasan karya Schoemaker, dibahas pula mengenai pembentukan arsitektur satu arah (lisensia arsitektura) yang disampaikan oleh Yuswadi Saliya, pendiri Ikatan Arsitektur Indonesia. Yuswandi mengungkapkan beberapa faktor yang menjadi latar belakang, diantaranya interaksi antara arsitektur dengan habitat dan komunitasnya. Yuswandi juga mengatakan bahwa bidang preservasi karya arsitektural saat ini menghadapi kamar mati. Maksudnya, setiap elemen arsitektur hanya dilihat seperti apa yang terlihat. Padahal, elemen-elemen tersebut sebenarnya memiliki banyak potensi. Bangunan tua hanya dilihat seperti bangunan yang telah tua dan perlu diperbaiki; padahal bangunan tersebut memiliki potensi dimanfaatkan untuk berbagai fungsi dan pariwisata. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa Bandung yang kaya dengan bangunan-bangunan arsitektur kolonial tidak terkenal karena bangunannya; tetapi justru karena FO dan pusat perbelanjaan yang menjamur.
Seminar dan diskusi ini membuat para pesertanya lebih mengenal siapa sosok Schoemaker dan karya-karyanya yang menghiasi Bandung. Diharapkan kedepannya, karya-karya Schoemaker dapat terus terjaga; tidak hanya menjadi bagian dari nostalgia kota Bandung atau objek pembelajaran arsitektur, namun juga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Kumiko HOMMA, mahasiswi program magister berkebangsaan Jepang, menampilkan hasil penelitiannya mengenai karya-karya Schoemaker. Penelitian tersebut turut dibantu oleh Dr. Eng. Bambang Setia Budi, ST.MT., dosen sejarah arsitektur program studi arsitektur ITB. Dalam seminar yang diselenggarakan di galeri Labtek IXB, Jumat (11/09/09), Kumiko menampilkan hasil analisisnya pada berbagai karya Schoemaker di Bandung. Schoemaker memiliki karakteristik art deco, streamline, inconsistent, dan concoct.
Selain pembahasan karya Schoemaker, dibahas pula mengenai pembentukan arsitektur satu arah (lisensia arsitektura) yang disampaikan oleh Yuswadi Saliya, pendiri Ikatan Arsitektur Indonesia. Yuswandi mengungkapkan beberapa faktor yang menjadi latar belakang, diantaranya interaksi antara arsitektur dengan habitat dan komunitasnya. Yuswandi juga mengatakan bahwa bidang preservasi karya arsitektural saat ini menghadapi kamar mati. Maksudnya, setiap elemen arsitektur hanya dilihat seperti apa yang terlihat. Padahal, elemen-elemen tersebut sebenarnya memiliki banyak potensi. Bangunan tua hanya dilihat seperti bangunan yang telah tua dan perlu diperbaiki; padahal bangunan tersebut memiliki potensi dimanfaatkan untuk berbagai fungsi dan pariwisata. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa Bandung yang kaya dengan bangunan-bangunan arsitektur kolonial tidak terkenal karena bangunannya; tetapi justru karena FO dan pusat perbelanjaan yang menjamur.
Seminar dan diskusi ini membuat para pesertanya lebih mengenal siapa sosok Schoemaker dan karya-karyanya yang menghiasi Bandung. Diharapkan kedepannya, karya-karya Schoemaker dapat terus terjaga; tidak hanya menjadi bagian dari nostalgia kota Bandung atau objek pembelajaran arsitektur, namun juga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
0 komentar